Jalabiyah Putih dari Yaman
--Secuil cinta pemberian dari Sang Maha Cinta
Sumber : Mr. Google |
Seperti
biasa, di waktu sore Bilqis mengajar santriwati kelas dua Tsanawiyah belajar
bahasa Arab. Ia mengajar santriwatinya dengan penuh semangat. Bahkan kerap kali
mengajak santriwati untuk belajar di taman pesantren yang begitu indah. Taman dipenuhi
dengan pepohonan yang menyejukkan, dipenuhi bangku-bangku taman yang panjang,
juga kolam ikan serta pancuran air disekitarnya. Tentu keindahannya membuat
santri maupun santriwati sangat senang dan betah belajar atau mengahafal di
taman. Tak terkecuali Bilqis, ustadzah muda yang menjadi ustadzah asrama dan
mengajar di kelas. Ia juga sangat senang jika mengajar santri-santrinya di
taman.
Kali
ini Bilqis mengajar pelajaran nahwu tentang na’at (sifat). Ia menjelaskan bahwa na’at adalah lafadz atau kata yang menunjukkan sifat pada isim
sebelumnya, dan isim yang disifati tersebut dinamakan man'ut. Na’at man’ut itu
ada dua, na’at man’ut dari isim ma’rifah dan na’at man’ut dari isim nakirah.
Bilqis menjelaskan secara singkat namun mengena pada semua lini na’at dan man’ut yang dibahas.
Usai
memberi penjelasan Bilqis meminta santriwati untuk memberi contoh dari keduanya.
“Ustadzah,
beri contohnya dulu dong. Satu saja dari setiap keduanya.” Pinta seorang
santriwati.
“Baiklah,
Aisyah.” Sahut Bilqis tersenyum sembari membenarkan letak kacamata berframe hitamnya.
Bilqis
menulis dua kalimat di white board.
Dan sesekali kerudung merah mudanya berkibar dihembus angin sore yang
menyejukkan seantero pesantren beriringan dengan murattal yang terdengar dari
corong masjid Aulad (Jamak dari ‘walad’ yang berarti anak laki-laki;
sebutan untuk santri putra).
“Oke
kita baca bersama ya.” Tegas Bilqis.
Semua
santriwati yang duduk dibangku taman setengah lingkaran fokus menatap white board. Sebagai point of view.
“Annisaa-u as shaalihaat.” Semua
serempak.
“Ada
yang tau artinya?” Tanya Bilqis.
“Saya
ustadzah, artinya perempuan-perempuan yang shalihah itu.”
“Mumtazah… Alfun untuk Nadhira.” Santriwati yang lain bertepuk tangan.
Bilqis
memang terbiasa memuji santriwati yang bisa menjawab. Seperti memberi nilai alfun (seratus). Karena Bilqis merasa
bahwa mengajari anak remaja tidak sama dengan mengajari anak dewasa. Sebagai
pangajar remaja, tentu harus sabar dan bisa menjadi teman bagi mereka. Masa
remaja adalah masa dimana anak-anak mulai megalami perubahan atau dalam bahasa
biologinya disebut puber. Maka sudah
barang tentu remaja harus selalu didampingi dalam melewati tahap demi tahap
masa remajanya.
“Nah,
yang kita baca tadi itu adalah contoh na’at
man’ut dari isim ma’rifah.”
“Berarti
kalimat yang kedua itu contoh na’at
man’ut dari isim nakirah ya,
Ustadzah?”
“Masya
Allah, iya betul sekali Fatimah. Alfun..”
Bilqis tersenyum.
Sebelum
membaca kalimat kedua, mata Bilqis dihadapkan pada sosok yang tengah berjalan
diseberang jalan tepat didepan kantor ’Aliyah.
Tiba-tiba hati Bilqis berdegub. Detak jantungnya berdetak lebih kencang dari
biasanya. Sosok mengenakan Jalabiyah putih dan berpeci itu berjalan
bersampingan bersama Buya (Pimpinan pesantren). Bilqis termangu beberapa detik.
Ia juga heran dengan dirinya yang begitu kaget melihat pemuda yang tak
dikenalnya itu.
“Ustadzah….”
Panggil santriwatinya serempak.
“Oh
iya… Ayo kita baca kalimat yang kedua.” Gugup Bilqis. Namun kegugupan itu hanya
dia dan Tuhannya yang tahu.
“Nisaa-un Shaalihaatun.” Ucap semua
santriwati lagi-lagi dengan serempak.
Usai
mengajar Bilqis ke kantor ‘Aliyah.
Sekedar mengambil buku tugas santriwati kelas enam (setara kelas 3 SMA). Bilqis
merupakan lulusan Matematika di Universitas ternama di Yogyakarta. Namun
setelah lulus, ia lebih memilih kembali mengabdi di pesantren tempat ia menimba
ilmu. Di pesantren ia tidak hanya mengajar matematika tetapi juga mengajar
bahasa Arab, Balaghah, dan Fiqh. Sudah setahun lamanya ia mengabdi. Selain
mendapat gelar sarjana, ia juga mendapat gelar “ustadzah muda” dari para santri
yang pada akhirnya menyebar ke penjuru pesantren. Memang harus diakui, Bilqis
adalah ustadzah paling muda dan belum menikah. Sosok yang bertubuh mungil,
dengan mata bulat dibalik kacamatanya. Jika tersenyum maka akan tercipta lesung
pipi yang amat manis dikedua pipinya. Ditambah kulitnya yang putih bersih, hal
ini memancarkan aura tersendiri disamping keshalehan dan keramahannya.
Bilqis
menuju asrama Banat (Jamak dari ‘Bintu’ berarti anak perempuan; panggilan
untuk santri putri) dengan membawa tumpukan buku tugas santrinya. Bilqis terus
berjalan. Berjalan tegak lurus kedepan tanpa menoleh kanan dan kiri.
“Innaa lillaah..” Pekiknya saat hampir
saja terjatuh karena tersandung akar pohon kelengkeng di dekat masjid Banat. Memang tak membuat dirinya jatuh,
akan tetapi buku tugas yang bertumpuk itu yang jatuh berantakan.
Bilqis
segera memunguti buku-buku yang berserakan.
Hai
tangan siapa itu. Jeritnya dalam hati sembari mendongakkan wajah ke pemilik
tangan itu.
“Lain
kali hati-hati ustadzah Bilqis.” Ucap pemuda itu sembari memberikan tumpukan
buku pada Bilqis.
Bilqis
kaget. Bagaimana dia tahu namaku. Nuraninya berbisik. Bilqis masih terdiam.
Pemuda itu tersenyum dan bergegas pergi. Ada rasa gugup menyelinap di hati
Bilqis. Namun disisi lain hatinya berbunga-bunga bak bunga di taman syurga.
Bibirnya menyunggingkan senyum yang tak berkesudahan setelah pemuda itu tak
tampak lagi.
“Astaghfirullah, zina hati, Qis.”
Tegurnya pada dirinya sendiri. Syukur tak ada santri yang lewat, kalau tidak
bisa jadi perkara besar tadi. Batin Bilqis.
Tapi
Bilqis benar-benar heran dengan pemuda yang tak dikenalnya itu. Meski begitu,
hati Bilqis menjadi penasaran. Apakah ini yang namanya pucuk dicinta ulam pun
tiba, bisiknya lirih. Ia nyengir sendiri. Ah kenapa kau ini, Qis. Ledeknya pada
dirinya sendiri. Entahlah, mungkin ini suatu kebetulan, kebetulan yang
menyenangkan. Bisik Bilqis. Namun pada dasarnya tetap saja ini adalah
rencana-Nya.
***
Sudah
tiga hari lamanya Bilqis dibuat sedikit penasaran dengan pemuda itu. Namun ia
tetap tenang saja. Ia akan lupa begitu
saja dengan pemuda itu jika tak dilihatnya. Namun ketika tiba-tiba bertemu
hatinya menjadi penasaran. Maka untuk menghindari itu, Bilqis lebih banyak di
asrama saat tidak mengajar.
Ba’da shalat
isya’ berjamaah bersama seluruh santriwati. Bilqis dapat panggilan dari buya
untuk segera ke rumah beliau bersama umi Rabi’ah (ustadzah ketua asrama Banat). Rumah buya masih dilingkungan
pesantren dan terletak di bagian paling depan pesantren. Karena memang semua
pengurus pesantren tinggal di komplek pesantren yang dikelilingi tembok tinggi.
Sehingga terpisah dengan masyarakat sekitar.
Kali
ini seperti biasa, Bilqis yang sudah sering menghadap buya merasa tidak
khawatir dengan suatu hal. Mungkin masalah santri, pikirnya.
Bilqis
tiba di ruang tamu rumah buya. Tampak disana buya, ustadz Mahmud (menantu buya
sekaligus kepala ‘Aliyah), dan
beberapa ustadz dan umi yang lainnya. Namun yang membuat ia kaget bukan
kepalang adalah pemuda yang mengenakan Jalabiyah putih serta berpeci itu, duduk
disamping buya. Oh jadi ustadz baru. Batin Bilqis.
Semua
sudah berkumpul. Buya memulai pembicaraan. Mengenalkan pemuda itu kepada
segenap yang hadir. Namanya Muhammad Ghiyats Fawwaz, santri Gontor yang
melajutkan menuntut ilmu di Jami’ah Al-Ahgaff, Yaman. Dan kini mengabdi di
pesantren dimana Bilqis berada.
Setelah
perkenalan usai. Buya juga menjelaskan tentang Bilqis kepada Fawwaz. Namun
kenapa hanya Bilqis saja yang diperkenalkan, ustadz dan ustdazah yang lain
kenapa tidak. Bilqis hanya terus menyimak saja rencana buya.
Hah!!!
Jerit hatinya yang kali ini benar-benar tertohok dan kaget bukan main.
Bagaimana mungkin buya menjodohkan Fawwaz dengan Bilqis. Tapi sekali lagi,
hatinya bahagia. Siapa yang tidak bahagia jika dijodohkan dengan pemuda shaleh,
sederhana, dan berwibawa seperti Fawwaz. Nurani Bilqis mulai menerima. Ini lah
rembulanku, batinnya.
Diskusi
yang cukup panjang antara buya, ustadz, dan ustadzah perkara perjodohan ini.
Sedang Fawwaz dan Bilqis diam tak bergeming. Suatu ketika, kedua bola mata
mereka bertatapan. Ini kali pertama mereka berpandangan tanpa disengaja. Namun
keduanya cepat-cepat menunduk, memandang lantai keramik bermotif bunga berwarna
krim. Yaa Allah jika memang begini
takdirku, aku sangat ikhlas dan ridha, sungguh Yaa Allah. Harap Bilqis yang masih terus menunduk malu menatap
lantai. Sedangkan Fawwaz tertunduk sembari membenarkan letak kacamata yang juga
berframe hitam, sama seperti Bilqis.
Setelah
diskusi panjang. Akhirnya dengan menyebut nama Allah Yang ar-Rahman dan ar-Rahim, Fawwaz
dan Bilqis berjodoh. Segera esoknya ijab qabul pun di gelar. Seantero pesantren
mendadak lebih ramai dari biasanya karena acara bahagia Fawwaz dan Bilqis. Buya
sengaja menggelar repsepsi Fawwaz dan Bilqis di pesantren. Kemudian setelahnya
baru menggelar resepsi di kediaman Fawwaz di Ponorgo, Jawa Timur sedangkan
Bilqis di Aceh. Bilqis santriwati emas pesantren dan kemudian menjadi ustadzah
di pesantren tempat ia belajar dahulu. Sedangkan Fawwaz juga santri emas
Gontor, yang melanjutkan study ke
Jami’ah Al-Ahgaff, Yaman kemudian di ajak buya mengurus pesantren dimana Bilqis
berada.
“Ingat
tidak sayang?” Ucap Fawwaz yang duduk disamping Bilqis di pelaminan.
“Apa?”
Jawab Bilqis yang sejurus kemudian berpaling ke arah Fawwaz.
“Kita
pernah bertemu.”
“Ah,
masa?” Bilqis tak percaya.
“Iya,
saat sama-sama tes beasiswa Al-Ahgaff, Yaman di pesantren ini.”
“Yang
benar. Tapi kenapa Bilqis enggak
lihat abang ya.”
“Gimana
mau lihat, Bilqis aja tunduk terus ke bumi.” Fawwaz tertawa kecil.
“Iya
kah.” Bilqis juga tertawa kecil.
“Bilqis
waktu itu pakai baju ungu bahkan jilbab dan rok juga berwarna ungu.”
“Iya
betul sih. Tapi abang yang mana ya? Duduk dimana waktu itu?”
“Abang
duduk dibelakang, pakai sarung, baju koko dan peci.”
“Kayaknya
semua juga gitu, Bang. Bilqis benar-benar enggak
perhatiin abang waktu itu.” Bilqis menjawab apa adanya, dengan tersenyum.
“Iya
tidak papa. Waktu itu abang sendiri
yang dari pulau Jawa. Karena kawan abang yang lain sudah ikut tes yang di Jawa.
Cuma abang yang ke Sumatra.”
“Hemmm..
Lalu, Bang?”
“Lalu
ketemu jodoh hehe.” Fawwaz tertawa kecil.
“Maksudnya?”
Bilqis heran.
“Ya,
abang waktu itu sempat tanya nama Bilqis ke teman sesama ujian, tapi ia juga
tidak tahu. Tapi enggak tahunya
sekarang bertemu dengan sendirinya.”
“Hemmm
gitu.. Tuh kan, Bang. Jodoh tak kan kemana.” Balqis tersenyum.
Mereka
mengobrol dengan penuh canda tawa. Pertemuan singkat empat tahun silam ternyata
berbuah manis. Meski Bilqis tidak menyadari bahwa Fawwaz merupakan salah satu
dari penerima beasiswa itu.
Bilqis
yang serius menuntut ilmu itu yakin, bahwa semua akan indah pada waktunya.
Hingga ia hanya fokus pada study dan
pengabdiannya. Selama ini ia jaga fitrahnya akan cinta dengan baik dan tak
disangka-sangka penantian panjangnya berbuah manis, ia ditautkan dengan jodoh
yang awalnya pernah bertemu.
Allah
memang Maha Adil. Ia selalu mengingatkan hamba-hamba-Nya, Sibukanlah dirimu
dengan terus men-shalehkan diri maka kau juga akan berjodoh dengan dia yang
terus men-shalehkan diri. Seperti cermin, bagaimana dirimu begitu pula lah
jodohmu. Dan kelak jodohmu adalah pakaianmu, dan kamu adalah pakaiannya.
Bilqis
teringat celotehnya kepada salah seorang sahabat saat dulu menjadi santri. “Cinta
yang halal dan diridhai Allah itu jauh lebih berkah dan indah.” Ucapannya dulu kini
benar-benar dialaminya. Bukan lagi bayangan semata.
“Fokuslah
dulu dengan study… Nikmati masa bersama kawan.. Sibukkan diri tingkatkan
prestasi.. Buat Ayah dan Ibu bangga serta bahagia… Buat guru-guru, ustadz dan
ustadzah bangga… Banyak-banyaklah berbagi ilmu dan inspirasi pada sekitar… Kini
waktunya untuk menanam, kelak saatnya masa panen tiba. Semoga Berjaya seperti
Fawwaz dan Bilqis, Aamiin..”
Ditemani suara denting jarum jam;
dan suara percikan air yang jatuh ke dalam bak menimbulkan bunyi yang begitu
indah; kemudian diakhiri dengan lantunan indah Murattal Syaikh Faht Al-Kandery surat
Ar-Rahman.. :D
[15.13] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah
yang kamu dustakan?
19 Mei 2015, Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar