JOGJA MEMBACA 4



Editions of poetry readings in order one "Jogja Membaca 4" activities.
Pembacaan Puisi
Dalam rangka “Jogja Membaca 4” pada 20 Desember 2014, salah satu kegiatannya adalah membaca puisi. Kebetulan saya dipercaya dari divisi pers sebagai perwakilan untuk membacakan puisi dihadapan masyarakat Jogja tepatnya di Titik Nol Kilometer. Tumbuh rasa nasionalisme yang mengharu-biru ketika membacakan puisi tersebut, puisi seorang Kyai masyhur tapi juga seorang seniman, penyair dll. Puisi beliau sengaja saya adaptasi supaya berkaitan dengan “Merangkai Jogja dengan Membaca” yang menjadi tema Jogja membaca 4 tahun ini. Sehingga ada yang berbeda lirik puisi dibawah ini dengan puisi asli beliau.

RASANYA BARU KEMARIN
Oleh         : KH. A. Musthafa Bisri
Adaptasi  : Rima Esni Nurdiana

Rasanya
Baru kemarin Bung Karno dan Bung Hatta
Atas nama kita menyiarkan dengan seksama
Kemerdekaan kita di hadapan dunia.

Rasanya
Gaung pekik merdeka kita
Masih memantul-mantul tidak hanya
Dari mulut-mulut para jurkam  saja.

Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad lamanya

Pelaku-pelaku sejarah yang nista dan yang mulia
Sudah banyak yang tiada dan penerusnya
Sudah banyak yang berkuasa atau berusaha
Tokoh-tokoh pujaan maupun cercaan bangsa
Sudah banyak yang turun tahta.



Taruna-taruna sudah banyak yang jadi
Petinggi negeri
Mahasiswa-mahasiswa yang dulu suka berdemonstrasi
Sudah banyak yang jadi menteri

Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad lamanya

Tokoh-tokoh angkatan 45 sudah banyak yang koma
Tokoh-tokoh angkatan 66 sudah banyak yang terbenam

(Hari ini ingin rasanya
Aku bertanya kepada mereka semua
Sudahkah kalian
Benar-benar merdeka?)

Bagaimana bisa generasi bangsa
Banyak yang buta huruf, tulis dan membaca
Katanya sudah merdeka? 
Bagaimana bisa budaya membaca masih tak menjamah bangsa kita?
Bagaimana bisa jangankan untuk sekolah
Untuk membaca saja mereka tak punya bacaannya
Lantas siapa yang harus disalahkan? Salah siapa?

Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad lamanya


Banyak orang pandai sudah semakin linglung
Banyak orang bodoh sudah semakin bingung
Banyak orang kaya sudah semakin kekurangan
Banyak orang miskin sudah semakin kecurangan

Rasanya
Baru kemarin

Banyak ulama sudah semakin dekat kepada pejabat
Banyak pejabat sudah semakin erat dengan konglomerat
Banyak wakil rakyat sudah semakin jauh dari umat
Banyak nurani dan akal budi sudah semakin sekarat

(Hari ini ingin rasanya
Aku bertanya kepada mereka semua
Sudahkah kalian benar-benar merdeka?)
  
Pembangunan ekonomi kita sudah sedemikian laju
Semakin jauh meninggalkan pembangunan akhlak yang tak kunjung maju
Anak-anak kita sudah semakin mekar tubuhnya
Bapak-bapak kita sudah semakin besar perutnya
   

Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad kita merdeka
  
(Hari ini setelah setengah abad merdeka
Ingin rasanya aku mengajak kembali
Mereka semua yang kucinta
Mensyukuri lebih dalam lagi
Rahmat kemerdekaan ini
Dengan meretas belenggu tirani
Diri sendiri
Bagi merahmati sesama)

Rasanya
Baru kemarin, Ternyata
Sudah setengah abad kita Merdeka

Maka ingin sekali rasanya aku menyeru tentang membaca
Agar anak cucuku tak dibodohi bangsa maupun selainnya
Agar anak cucuku tahu akan dunia yang maha luasnya
Agar anak cucuku mampu memimpin dunia tanpa ke-egoisan-nya

Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Tetap dipuja-puja bangsa

Disana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung dihari tua
Sampai akhir menutup mata

Sungguh indah tanah air beta
 tiada tandingnya di dunia
karya indah Tuhan Maha Kuasa
bagi bangsa yang memujuanya

Indonesia ibu pertiwi
Kau kupuja kau kukasihi
Tenagaku bahkan pun jiwaku
Kepadamu rela kuberi

(Maka untuk terakhir kalinya
Ingin rasanya
Aku sekali lagi menguak angkasa
Dengan pekik yang lebih perkasa:
Merdeka!)
11 Agustus 1995
20 Desember 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu Lelaki Hebatku, Terimakasih untuk Semua Rasa Cemburu yang Kau Berikan.

Grojokan Sewu: Tawangmangu

Kembali ke Blitar; Aku Datang….