Satu Sudut Yang Dirindukan...
Siraman Kalbu di Penghujung Pagi..
Bismillah…
---Karena memang tak kan pernah usang rasa rindu
pada pondok sebagai ibu kedua yang mendidik para santri/santriwati menjadi
generasi muda berjiwa Qur’ani dan Islami.. Dan tetap berprinsip pada visi dan
misi; Tafaqquh fi ad-Din wa Indzarul Qaum.
Panca
Jiwa Pesantren Al-Kautsar Al-Akbar
1. Keikhlasan
bekerja dan beramal
2. Kesederhanaan
dan kemandirian
3. Kedisiplinan,
kebersihan dan keteraturan
4. Berjiwa
besar bercita-cita tinggi
***
Masjid Banat
(banat jamak dari bintu berarti anak perempuan) ba’da
subuh ini tak jauh berbeda dengan saat subuh di hari lainnya. Masjid yang megah
pun juga luas; terukir kaligrafi indah dengan berbagai khat menghiasi dinding-dindingnya; lampu-lampu menjadi cahaya
penerangnya; beberapa buah kipas angin menjadi penyejuknya; juga karpet masjid
yang bak permadani terbentang menjadi alas bagi para santriwati dalam ibadah
dan belajarnya. Namun nyatanya ada yang jauh lebih mendamaikan dari semua itu,
yakni para santriwati yang hanyut pun juga lebur dalam dzikir; wirid; bacaan
Al-Qur’an; muraja’ah; hafalan; sampai sibuk dengan buku-buku juga
kitab-kitabnya, belajar. Ada yang menyendiri di sudut masjid sibuk dengan buku
atau mata yang terpejam mengulang-ngulang hafalan Qur’an; ada yang berkumpul
membuat lingkaran untuk belajar bersama; ada yang bersandar di tiang-tiang
masjid dengan Qur’an digenggamnya (menghafal); hingga ada juga yang naum (tidur) dihamparan sajadah, meringkuk
dibalik mukena yang membalut tubuhnya. Itulah warna-warni kesibukan di subuh
hari, antara pukul lima hingga tujuh pagi.
Berbicara tentang santriwati yang bersandar di
tiang masjid. Ia terduduk diatas sajadah orangenya; menggenggam Qur’an kesayangannya
yang berwarna biru muda; ada buku-buku pun juga kitab-kitab dihadapannya dan
tangannya sibuk membolak-balik semua itu setelah usai menambah hafalannya; terbalut
hangat dalam mukena putih; dan tetap setia mengenakan kacamatanya; tiang
diteras masjid yang dekat dengan pintu utama ini adalah tempat favoritnya.
Karena ditengah-tengah belajar; menghafal; pun juga memurajaah, mata akan
dimanjakan dengan hamparan taman pesantren yang sarat dengan pepohonan yang menjulang
juga bangku-bangku taman yang panjang dan tertata rapi.
Menjelang pukul tujuh.
Tinggal beberapa santriwati yang masih bertahan di masjid. Sebagian lainnya
sudah kembali ke asrama untuk bersiap-siap sarapan dan bergegas menuju kelas.
Dan menjelang pukul tujuh itu pula terdengar lantunan merdu dari corong masjid Aulad (aulad jamak dari walad
berarti anak laki-laki). Karena memang antara santri dan santriwati dibedakan
masjidnya.
“Raudhah…
Ini yang kita tunggu-tunggu.” Pekik Anita sembari menghampiri Rudhah, sedang
sajadah bergelayut dipundak kanannya. Anita adalah sahabat seperjuangan Raudhah; santriwati yang hobi bersandar
di salah satu tiang masjid.
“Eh
iya, Ta.”
Mereka
berdua beranjak ke teras samping masjid. Mendengarkan suara merdu Habib Syeikh
Abdul Qadir melantun begitu indah. Sesekali bibir-bibir mungil mereka turut
mengikuti setiap lirik sembari tersenyum-senyum. Maklum hanya tinggal mereka
berdua yang ada di masjid, sehingga berbuat demikian tak kan diketahui
santriwati yang lain.
Dokumen dari Google |
Lantutan
merdu dari corong menara masjid aulad
yang terdengar sampai masjid banat
bak air yang membasahi kerongkongan; bak tetesan hujan di dedaunan; bak
gemericik air yang menyegarkan saat berwudhu’; bak semilir angin ditengah terik
yang mendera, menyejukkan.
Setidaknya,
ada sedikit cerah dihati mereka kala mendengarnya. Ada sedikit damai yang
menjalar keseluruh tubuh seperti aliran darah didalam sel yang mengahantarkan
keseluruh penjuru tubuh hingga titik penghabisan.
Setiap menjelang pukul tujuh tepat,
lantutan indah itu akan keluar dari corong menara masjid aulad. Maka detik itu pula, Raudhah dan Anita segera bergegas
menghayati tiap bait. Berlari ke teras samping masjid. Setelah itu, mereka
kembali ke asrama. Lebih tepatnya setelah lantutan favorit mereka usai dan
berganti dengan lantunan yang tak kalah indah lainnya. Di pesantren tempat
mereka menuntut ilmu, setiap pagi dan sore dari corong masjid aulad akan terdengar lantunan indah
Murattal, Maher Zain, dan Habib Syeikh Abdul Qadir Assegaf. Ini membuat suasana
pesantren semakin hidup.
Maka,
kini Raudhah sedang menjejak di belahan bumi yang lain untuk menuntut ilmu,
kuliah. Jauh dengan pesantren dan sahabat terbaiknya, Anita. Jika terdengar
olehnya lantunan indah seperti saat di pesantren, maka ada binar-binar
kerinduan yang menyusup dalam pelupuk matanya. Slide-slide kenangan manis akan pesantren dengan segala hiruk
pikuknya tergambar jelas. Ya, ketulusan saling mencintai antar sesama
bersaudara. Cinta yang berdiri tegak
karena-Nya. Hingga jarak tak menjadi raja untuk tetap mengukir cinta antar
keduanya. Rindu bukan pula menjadi derita seperti orang kebanyakan. Rindu
menjadi tabungan istimewa yang akan dibuka saat berjumpa. Karena memang jika
semua ditempuh dengan jalan yang diridhai oleh-Nya semua akan berbalas syurga.
Insya Allah. Seperti saling mencintai antar sesama saudara; Raudhah dan Anita.
Juga pengabdian dan rasa cinta mereka terhadap pesantren dengan segala hal yang
ada didalamnya.
*Sahabat baikku. Anita. Ingatkan
akan hal ini? :D
Semoga Allah selalu menjaga dan
melindungimu, karena hanya Dia sebaik-baik penjaga dan pelindung. Dan juga
semoga kuliahnya lancar ya, semakin shalehah dan tetap istiqamah. Ingat, sungai
Nil dan Al-Azhar kita. :D :D
31 Mei 2015, Yogyakarta.
Bersama lantunan merdu Syeikh Saad
al-Ghaamidi; Habib Syeikh Abdul Qadir Assegaf; pun juga beberapa lagu Arab; Timur
Tengah.
Komentar
Posting Komentar