Seni Seviyorum...
Risalah Cinta…
--Ditambah
sedikit bumbu penyedap, petuah Imam Al-Ghazali “Raudhah; Taman Jiwa Kaum Sufi”
Photo by Mr. Google |
Cinta…
Ibnu Arabi (Sufi dan pemikir Islam abad ke-12 dari Spanyol) pernah bertuah bahwa
cinta itu tak punya defenisi. Dalam
risalah Futuhat ia juga menjelaskan, “Ia yang mendefenisikan cinta berarti tak
mengenalnya… Sebab cinta adalah minum tanpa hilang haus.”, Ya memang betul
juga. Karena setiap orang akan memiliki versi berbeda saat mengartikan
cinta. Lain halnya dengan Jalaluddin
Rumi (Sufi yang paling masyhur), “Cinta adalah
laut-Ke-Tak-Ada-an.” Maka pantas saja cinta yang hanya sepatah kata namun
sangat sulit untuk didefinisikan. Sehingga dalam ribuan masnawi dan diwannya,
Jalaluddin Rumi hanya mengemukakannya dalam bentuk nagasi, bahwa cinta itu
ibarat pohon yang tegak berdiri bukan diatas tanah atau diatas pokok, bahkan
bukan pula di mahkota surga.
Tentu
masih banyak lagi penggambaran tentang cinta oleh para pakar yang lainnya.
Namun bukan itu yang menjadi pokok pembahasan disini. Substansinya lebih kepada
seperti apa hakikat cinta yang sebenarnya itu.
Namun,
jujur saja ini adalah bahasan yang menurutku pribadi sangat lah krusial. Bahkan
cenderung sangat rawan jika dikaitkan dengan berbagai sisi lainnya. Ditambah
lagi terkait usiaku yang masih sangat belia (kata orang kebanyakan) merasa
belum pantas saja menulis hal seperti ini. Namun disudut yang lain, rasa ingin
berbagi pengetahuan yang sedikit mendorong jari-jari mungilku untuk mengetik di
keyboard laptop kesayanganku.
Menjadikan apa yang kutulis sebagai ladang dakwahku untuk menanam benih-benih
pahala yang semoga berbuah syurga. Aamiin..
Nah,
berbicara cinta. Seperti salam pembuka diawal cerita, bahwa cinta tak punya
defenisi. I agree. Seperti hasil buah
pikirku sendiri, bahwa cinta tak terdefinisi namun ia tumbuh dan berkembang,
memenuhi dan bertengger manis dijiwa-jiwa manusia sebagai makhluk yang dha’if dan sangat butuh akan segala
kasih juga sayang dari Tuhannya sebagai tempat segala bermuara.
Coba
perhatikan, saat diusia kanak-kanak cinta adalah saat ayah dan ibu selalu ada
bersama kita; menatap setiap tumbuh-kembang kita. Namun menginjak diusia
remaja, cinta mulai berubah. Cinta bukan lagi antara anak dengan ayah dan
ibunya tetapi cinta sudah lebih kepada cinta monyet bin semu bin palsu dan
bin-bin yang lain, hehe. Meski tetap ada saja, anak yang sudah mulai tumbuh
dengan cinta hanya pada ayah dan ibu serta Tuhan Sang Pencipta. Lanjut. Beranjak
dewasa, cinta itu semakin tumbuh dan berkembang menjadi cinta kepada yang bukan
mahramnya; lawan jenis. Nah, disini cinta bukan lagi sekedar saling bertemu,
mengobrol, atau bahkan jadi bahan candaan teman-teman lainnya, seperti masa
kanak-kanak. Cinta sudah lebih kepada perasaan. Rasa ingin saling melindungi;
rasa ingin terus bersama; rasa yang sudah lupa akan segala titik noda akan
pasangannya; rasa yang sudah melebihi rasa cintanya pada Sang Khaliq sebagai
Sang Maha Cinta. Astaghfirullah…
Terkadang saat rasa kagum + suka + cinta sudah mendera, manusia sebagai makhluk
lupa akan titah-titah Tuhannya. Semoga pembaca yang budiman tidak termasuk ya.
Semoga pembaca yang budiman selalu diberkahi dan dilindungi dari segala mara
bahaya.
Allah Maha Cinta.
Ya, adanya alam semesta dengan segala hal didalam dan diluarnya adalah bentuk luapan
cinta pun juga kasih sayang Sang Khaliq. Jadi benar adanya, bahwa pada dasarnya
alam tercipta karena cinta; penggeraknya adalah cinta; pengikatnya adalah
cinta; tujuan-akhirnya pun adalah cinta.
Allah
memiliki sifat rahman dan rahim yang diterjemahkan secara umum
sebagai Yang Maha Pemurah dan Yang Maha Penyayang. Akan tetapi, kata rahmah dalam bahasa Arab memiliki
konotasi yang sangat luas, komprehensif, yakni cinta, kasih, berkah, dan makna
lain yang serumpun. Dan dalam Al-Qur’an ada kata yang menunjukkan cinta dengan
kata wudd.
Sesungguhnya mereka yang percaya
dan melakukan hal-hal yang baik, Yang Pemurah akan menentukan bagi mereka
cinta. (QS. Maryam [19]: 96)
Tentu
masih banyak penyebutan cinta yang lainnya didalam Al-Qur’an, bukan hanya
sebatas contoh diatas. Jadi pada dasarnya cinta adalah sifat hakiki Allah. Maka
Ibn ‘Arabi menyatakan, “Tidak ada hadis yang disampaikan oleh para Nabi-Nya
yang mengisyaratkan Keagungan yang tanpa disertai oleh sesuatu dari keindahan
untuk menyeimbangkannya.” Namun tetap bertindak adil dan murka, ini semata
merupakan manifestasi dari cinta dan belas kasih-Nya. Ini adalah Sifat
Pemeliharaan-Nya (Rububiyah) atas
manusia dan alam semesta.
Cinta Allah, Cinta Manusia.
Pernah suatu ketika seorang wanita
shalehah yang menjadi pelayan di sebuah rumah menunaikan shalat malam seperti
malam-malam biasanya. Kali ini tanpa sengaja sang majikan mendengar doa-doa
yang ia lantunkan pada Tuhannya, “Ya
Allah, aku memohon kepada-Mu dengan cinta-Mu kepadaku agar Engkau memuliakanku
dengan bertambahnya ketakwaan dihatiku dan seterusnya.” Usai shalat. Sang
majikan bertanya, “Dari mana engkau tahu kalau Tuhan
mencintaimu? Kenapa tidak kau katakana saja, Ya Allah aku memohon kepada-Mu
dengan cintaku kepada-Mu?” Lantas si pelayan menjawab, “Wahai tuanku, jika bukan karena cinta-Nya
kepadaku. Mana mungkin aku mampu berdiri tegak menunaikan shalat disetiap malam
dan melantunkan munajat kepada-Nya. Karena pada dasarnya Dia yang
menggerakkanku untuk terjaga dengan ibadah malam kepada-Nya.”
Sungguh
cinta kasih antara Tuhan dengan manusia persis seperti hubungan perindu dengan
yang dirindui (‘asyiq dan ma’syuq).
“Orang-orang yang beriman itu,
sangat dalam kecintaan mereka kepada Allah. (QS. Al-Baqarah [2]: 165).
“Seorang hamba mendekat
kepada-Ku dengan menyelenggarakan ibadah-ibadah yang Aku wajibkan atasnya.
Kemudian, ia terus mendekat kepada-Ku dengan (menambah ibadahnya) dengan
berbagai amalan sunnah, hingga Aku mencintainya. Maka, Aku akan menjadi matanya
untuk melihat, telinganya untuk mendengar, tangannya untuk memegang, kakinya
untuk berjalan, hatinya untuk berpikir, dan lidahnya untuk berbicara; jika ia
memanggil-Ku, Aku akan menjawabnya; jika ia meminta kepada-Ku, Aku
memberinya..” (Hadis Qudsi yang terkenal dikalangan Sufi).
Jadi
hakikatnya, orang yang mencinta sangat butuh kepada orang yang dicintainya
sehingga apapun cara akan dilakukan untuk menyenangkan orang yang dicintainya.
Nah, begitu pulalah semestinya. Setiap manusia rindu berhubungan dengan Allah
dengan penuh kecintaan sejati. Manusia kepada Allah, Allah kepada manusia.
Sehingga dengan mujahadah
(pembersihan hati dari nafsu duniawi), lebur (fana’) dan tinggal tetap (baqa’)
menyatu dengan-Nya menjadi puncak dari seluruh perjalanan spiritual manusia.
Muhammad Nabi Cinta.
Hadits takhallaqu bi akhlaq Allah
(berakhlak dengan akhlak Allah) sesuai dengan Nabi Muhammad sebagai puncak
manifestasi dari akhlak Allah. Hingga suatu ketika pernah Siti ‘Aisyah ditanya
tentang akhlak Rasulullah, dan ia menjawab, “Akhlak rasulullah adalah Al-Qur’an.” Nabi Muhammad memang lah Yang
paling pertama kali diciptakan oleh Allah dengan menciptakan (Nur) Muhammad. Sehingga karena cinta-Nya
itu pula alam semesta ini tercipta. Bahkan Allah bersama para malaikatnya
senantiasa bershalawat kepada Rasulullah. Kemudian perintah bershalawat juga
turun kepada orang-orang beriman.
Kesempurnaan
Nabi tampak lebih jelas dalam firman-Nya:
Sungguh engkau (Muhammad) berada
diatas akhlak yang agung. (QS. Al-Qalam [68]: 4)
Bukan
hanya sebatas menjadi yang dicintai. Nabi jugalah pecinta. Itu semakin tampak
jelas saat dipenghujung kepulangannya menghadap Allah.
“Umatku.. umatku.. umatku.. Apa yang akan
terjadi atas mereka sepeninggalku.” Saat itu tentu saja semua orang hanya
memikirkan dirinya sendiri. Namun lain halnya dengan junjungan kita Nabi
Muhammad saw masih memikirkan umatnya. Dan nanti di akhirat, Nabi berdiri
diatas bukit, berseru kesana-kemari, “Halluma-halluma..
kesinilah kalian, datanglah kepadaku agar kalian semua mendapat syafaatku.
Terhindar dari hukuman-Nya, dan masuk surga semua saja.”
Maka,
jika kita mencintainya itu berarti kita mencintai Allah. Persis seperti titah
Tuhan yang diajarkan kepadanya, “ Barangsiapa
mencintai Allah, ikutilah aku. Maka Allah akan mencintai kalian…”
Tali Cinta Manusia.
Secara umum ini lebih dikenal dengan istilah silaturrahim. Shilah berarti menyambung sedangkan rahim adalah kasih sayang. Jadi intinya adalah menyambung kasin
sayang antar sesama tanpa membedakan satu dengan lainnya. Karena dihadapan
Tuhan semua sama, kecuali ketakwaan. Hingga dalam suatu hadits dikatakan bahwa,
jika kita menjalin silaturrahim Allah akan menyambungkan dengannya. Namun jika
kita putuskan silaturrahim maka Allah akan putuskan hubungan dengannya.
Silaturrahim itu saling menolong dan memberi satu dengan lainnya tanpa menuntut
balasan. Sehingga jika ada cinta antar keduanya, tentu ia akan lebih
mengutamakan kebutuhan yang dicintainya daripada dirinya sendiri. Satu hal lagi
yang perlu diketahui, bahwa jika berbuat baik antar sesama manusia maka cinta
dari-Nya akan menyapa. Seperti perkataan Nabi, “Sesungguhnya umat manusia adalah kerabat Allah. Maka barangsiapa
mencintai Allah, dia akan mencintai kerabatnya.”
Cinta Lelaki-Perempuan.
Allah telah menciptakan manusia denga fitrah kecintaannya. Seperti fitrah cinta
terhadap lawan jenisnya. Dari sini akan ditemui juga istilah jodoh sebagai separuh
agama. Ini berarti agama belum genap jika belum bertemu dengan penggenapnya.
Jika belum bertemu tentu ini akan membuat rindu untuk segera bertemu dengan
penggenap separuh agamanya. Nah, perumpamaan itu harusnya menjadi pengingat
yang harus dihadirkan dalam hubungan manusia dengan Tuhannya. Bahwa Tuhan telah
meniupkan Ruh-Nya dalam diri manusia, bukankah ruh itu bagian dari Diri-Nya?
Seperti tetesan air; baik air sungai, air hujan, air embun. Mereka tetap selalu
rindu untuk kembali ke laut, sumbernya. Hingga entah bagaimanapun keping-keping
cinta berserakan, tetap saja hanya ada satu tempat untuk melabuhkan cinta yang
hakiki, Allah swt. Hingga cinta
lelaki-perempuan bukan lagi sekedar penyalur syahwat yang terbingkai syari’ah (menikah) namun lebih kapada
pengingat manusia akan hubungan penuh kecintaan dengan Sang Khaliq Sang Maha
Cinta.
Huuufffttt…
Terlalu panjang ya? Ya karena saya rasa perlu sedikit diperinci walau memang
belum terlalu gamblang penjelasan tentang cinta itu sendiri.
Jadi memang, cinta yang benar-benar cinta
adalah yang ditautkan pada Allah, Sang Maha Cinta. Cinta yang benar adanya. Dan
jika tetap dijaga, Insya Allah berbuah syurga Allah yang tiada dua.
Tidak
ada cinta melalui pacaran dan lain sebagainya. Yang ada cinta suci-murni kepada-Nya.
Cinta yang ditempuh dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya.
Pacaran.
Ini perbincangan yang lagi-lagi sangat krusial menurutku. Karena yang tak
sependapat mungkin akan berpikir kuper; tidak gaul; atau bahkan terlalu
fanatis. Yang pasti, visi misi tetap sama, bahwa inilah bentuk kepedulianku
akan masa depan kita semua yang akan
jauh lebih baik tanpa melalui fase yang tak disukai oleh-Nya. Namun jalan
terpilih yang ditempuh adalah dengan
meniti ridha-Nya.
Jika
ditinjau lebih jauh. Belum ada manfaat yang berhasil kutemukan, baik dari hasil
menuntut ilmu maupun penelitian secara lebih ilmiah tentang ‘pacaran’. Namun sedikit
yang kutahu, bukan hanya lahir yang mengalami kantong kering; sakit merindu;
waktu terbuang untuk pertemuan sia-sia pun juga tak menentu; janji-janji manis
yang berujung tragis; hati yang luka miris; kecewa pada yang bukan tempatnya;
bahkan cinta yang tumbuh melebihi cinta pada Rabb, Sang Penciptanya. Ini tentu
sudah membahayakan.
Duh
jadi ingat pesan Ibu, suatu ketika, “Belajar yang serius ya. Jangan pacaran. Kalau
masalah jodoh nanti saja. Doa ibu selalu menyertaimu semoga kelak disandingkan
dengan yang shaleh pun juga si berada yang suka berderma.”
Lain
halnya dengan Ayah, “Belajar yang sungguh-sungguh. Berpendidikan
setinggi-tingginya. Buat ayah dan ibu bangga. Jadilah anak yang cerdas supaya
bisa berbakti pada keluarga, nusa, bangsa, dan agama.”
Atau
pesan singkat abang, “Fokus belajar saja. Nikmati masa belajar dan berjuang
bersama kawan. Masalah jodoh nantilah
itu. Banyak lagi pilihan.”
Jika
pesan kakak, “Fokus belajar dulu, dinda. Perjalanan masih panjang. Masih banyak
mimpi yang harus dicapai. Berpendidikan setinggi-tingginya dulu walau nanti
ujung-ujungnya ke dapur juga namun akan berbeda antara wanita yang
berpendidikan dengan yang tidak berpendidikan saat di dapur. Tetap istiqamah
jaga marwah dimana pun.”
Bahkan
pesan sahabat-sahabat terbaik, “Mimpi kita. Negeri lima menara.”
Yah
begitulah. Cinta yang terbingkai dan ditujukan kepada Rabb lah yang paling
menjanjikan. Dengan cinta yang tertaut kepada-Nya tentu kita berusaha untuk
tidak membuat-Nya cemburu; marah; merasa diduakan; dan lain sebagainya. Kita
mencoba mati-matian untuk membuat-Nya senang; tidak diduakan apalagi ditigakan,
diempatkan dan seterusnya.
Jadi
teringat pesan dosen juga, “Dimadu saja
enggak mau, apalagi diracun.” Eh? Kok jadi kesini hehe #intermeso :D
Jadi,
dimasa muda yang penuh pancaroba ini, alangkah baiknya kita manfaatkan waktu
untuk terus berbenah diri, mengukir prestasi, wujudkan segala mimpi, fokus pada
masa belajar, nikmati masa berjuang bersama kawan, cari pengalaman
sebanyak-banyaknya, cari ilmu sedalam-dalamnya. Kelak ada saatnya kontribusi
dan inspirasi kita menjadi penyemangat anak bangsa yang lainnya. Seperti kata
bijak bapak BJ. Habibi, “Kalau bukan kita
siapa lagi.” Jelasnya, kalau bukan anak negeri sendiri yang bergerak untuk
membenahi bangsa, siapa lagi?.
Kerenkan
dan mantapkan diri bukan hanya dihadapan Tuhan tetapi juga agar bisa bermanfaat
bagi keluarga, nusa, bangsa, dan agama. Nah
ini dia intinya; jika kita sudah mengecap manis dengan segala hasil jerih payah
dalam memantapkan diri, maka yang namanya ‘jodoh’ akan datang dengan
sendirinya. Atau kita yang mendatangi? Eh hehehe…
#Salam
hangat… :) :)
Yogyakarta, 02 Juni 2015.
Komentar
Posting Komentar