Astana Giribangun
Hai..
Tak terasa masa holiday sudah
menyapaku. Sungguh memang tak terasa. Sebab musababnya adalah kegiatan
sehari-hariku tak banyak berubah, tetap berputar seperti roda sepeda; mengajar
di pagi, sore, dan malam hari, ngaji ke habaaib di pondok Jogja, tanggung jawab
kepada tiga organisasi dengan posisi yang tak jauh berbeda, sibuk dikejar deadline tulisan, kejar tayang novel
perdana, dan kesibukan lain seperti biasa. Dari semua kesibukan setidaknya
berkurang satu tanggung jawab yakni kuliah. Kuliah libur hingga tiga minggu. Hampir
sebulan memang, jika ditambah satu minggu lagi. Namun tetap saja kuurungkan
niat untuk pulang kampung meski rindu sudah menumpuk-numpuk sejak beberapa
tahun lalu kepada keluarga dan teman-temanku. Ya ini karena sebentar lagi aku terjun
ke lapangan; KKN (Kuliah Kerja Nyata). Tanpa disadari sejak aku tiba di Jogja
beberapa tahun lalu dan kini sudah hampir selesai kuliahku, aku belum pernah
pulang ke kampung halaman. Hanya terhubung via posel saja. Kudengar sudah
banyak berubah kampung halamanku. Tapi tak apalah, ini akan jadi kejutan indah
saat nanti ku pulang. Hmmmm…. Aceh…
Oke…
penat memang. Otak juga punya hak untuk sejenak beristirahat agar lebih fresh. Maka kuputuskan untuk pulang ke
rumah nenek di Solo. Biarlah selama tiga hari aku menjadi gadis Solo saja dan
melarikan diri dari tanggung jawab yang se-abrek.. maafkan… hanya rehat
sebentar saja hehe
Di
solo, kami mengunjungi Astana Giribangun yang terletak di Desa Girilayu,
Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah. Ini adalah tempat peristirahatan pak
Soeharto dan Ibu Tien. Makam ini dibangun sedemikian rupa dan dijaga oleh
beberapa karyawan sehingga tetap terjaga. Memasuki pemakaman ini, pemimpin
rombongan harus memperlihatkan kartu identitas serta memberikan uang administrasi
tanpa nominal (secara ikhlas).
Sempat
berpikir, dengan sistem penjagaan yang sedemikian rupa darimana kah dana
diperoleh untuk menggaji para karyawan? Temanku berpendapat; bahwa kemungkinan
besar semuanya ditanggung oleh pihak keluarga. Tidak mungkin ada dana dari
pemerintah berhubung ini adalah kepentingan pribaadi. Masuk akal juga pikirku. Bukan
maksudku untuk su’udzan tetapi hanya
takjub dengan penjagaan yang sedemikian rupa itu.
Tentu
hal demikian membuat penziarah merasa nyaman. Dengan ketenangan dan kebersihan
yang ada. Atau ini karena aku terlalu lama mendengar keramaian kota? Sehingga merasa
damai dengan keramahan pedesaan? Ah entahlah, yang jelas, damai; itu yang
kurasa. Lokasi pemakaman ini bernuansa sangat sejuk.
Tangga menuju masjid dan makam |
Sebelum
menuju makam, kami putuskan untuk singgah di masjid Giribangun. Mashaa Allah,
takjub… Masjidnya indah sekali. Sungguh dengan segala kesederhanaan bangunannya
justru menimbulkan kesan elegan tersendiri. Masjid ini disanggah tiang-tiang kayu dengan ukiran Jawa yang begitu khas dan indah. Atap yang tak
begitu tinggi. Mengenai atap yang tak begitu tinggi seperti pada umumnya, kata temanku;
ini memiliki filosofi bahwa agar orang yang memasuki masjid tetap menjaga sopan
dan santunya. Sedangkan mengenai pintu masuk jamaah putra dan jamaah putri dibedakan.
Pintu masuk jamaah putra berupa lorong panjang yang berada didepan dan pintu
masuk jamaah putri berada disamping. Aku mengintip dari jendela masjid yang berukuran
sangat besar tanpa kaca sehingga dengan mudah kita bisa mendongakkan kepala
untuk melihat bagian dalam masjid. Jika diamati, masjidnya mungkin sudah tak
digunakan lagi. Terlepas dari itu, masjid tetap terjaga dengan baik
kebersihannya. Bersih sekali.
Sebagian dalam masjid |
Lorong panjang untuk pintu masuk |
Kulihat
tiang-tiang yang menyangga bagian dalam masih sama yakni berhias ukiran
Jawa. Kuhitung ada dua puluh tiang. Apa kah ini memiliki filosofi akan sifat
wajib Allah yang 20? Ah entah juga, aku hanya menebak-nebak dan tak tau harus
bertanya kepada siapa karena dibagian masjid memang tidak dijaga, hanya lokasi
ini.
Berjalan
lagi; disamping masjid ada Wisma Lerem. Mungkin dulu digunakan sebagai tempat istarahat atau bagaimana.
Kami
meneruskan perjalanan menuju pusara pak Soeharto dan Ibu Tien. Selain makam
beliau berdua ada makam lain disana; yakni makam keluarga pak Soeharto atau pun
Ibu Tien yang sudah wafat. Di luar ruang khusus makam keluarga juga ada
pemakaman untuk kalangan pemimpin Karanganyar. Oh iya, khusus untuk makam pak Soeharto dan keluarga tidak diperkenankan memotret dengan kamera pribadi. Jika ingin foto bisa menggunakan jasa foto yang sudah disediakan.
Teras pemakaman pak Soeharto dan Ibu Tien |
Begitulah.
Tak mengapa kita berziarah ke makam bukan hanya makam ulama, pembesar, hingga
orang biasa. Semua dilakukan adalah agar kita semakin ingat akan kematian. Bukankah
begitu?
Komentar
Posting Komentar