Menjemput Rindu ke Gunung Lawu 3.265 Mdpl



Saat di Sabana

“Rindu itu berat, maka harus dipikul bersama, tidak hanya berdua. Agar rindu itu terasa ringan dan membahagiakan” –Rima Esni N-

Ditengah-tengah padatnya pekerjaan dan tanggung jawab diluar pekerjaan, tetiba ingin refreshing agar kembali segar baik fisik maupun pikiran. Jika fisik saja butuh asupan makanan bergizi agar tetap sehat begitu juga pikiran butuh asupan kesegaran agar tidak judeeeeg hehe Karena hidup itu harus seimbang ya kan? Kita harus menikmati jatah hidup kita ini dengan sebaik mungkin, membagi-bagi setiap porsi agar semua bisa dijalani. Inilah salah satu nikmat atau rasa syukur kita yang masih terus diberi kesempatan untuk menebar manfaat dan terus menjadi pembelajar.

Oke, salah satu cara yang kupilih untuk menyegarkan fisik dan pikiran adalah dengan mendaki gunung. Jujur saja, aku bukan pendaki yang sudah mendaki banyak gunung baik di pulau Jawa, Sumatra, ataupun yang lainnya. Aku hanya senang mendaki, dan Gunung Lawu mungkin adalah gunung tinggi pertama yang kudaki, setelah dulu sempat pemanasan naik Gunung Api Purba Nglanggeran Yogyakarta dengan ketinggian sekitar 700 mdpl.

Waktu itu timbul rasa ingin mendaki Gunung Lawu saat musim kemarau di penghujung tahun 2017. Akhirnya perencanaan tak bisa terealisasi saat itu juga. Harus mengatur ulang jadwal karena rasanya lebih nyaman mendaki saat tidak musim hujan hehe Akhirnya setelah berdiskusi dengan team “Mendaki Tipis-tipis” yang beranggotakan 6 orang sahabat [dua perempuan dan empat lelaki] akhirnya diputuskan mendaki di bulan Juli 2018. Dan mendekati D-day ada kepanikan gegara temen perempuan satu-satunya dalam team enggak bisa ikut karena ada hal yang tak bisa ditinggalkan. Jujur panik si, karena mikir siapa temen bobok pas nge-camp, enggak mungkin dong bobok bareng temen-temen lelaki, bisa dicoret dari KK nanti hehe *padahal harusnya si bisa bobok sendiri ya hehe Akhirnyapun aku ngajak adik lelaki aku seyah seibu hehe Kebetulan emang jarak lahir kami hanya 1 tahun. Dia bekerja di Solo dan aku di Jogja. Lumayan deh dia bisa jadi temen bobok di tenda dan karena udah sering bolak-balik mendaki Gunung Lawu jadi bisa jadi tempat bertanya dan semacam leader di team kali ya hehe

Perjalanan Jogja-Karanganyar

            Keberangkatan ke Karanganyar di jumat sore dengan mengendarai sepeda motor. Saat maghrib aku beserta team sudah tiba di rumah nenekku yang kebetulah di daerah Matesih, Karanganyar. Ini cukup dekat untuk menuju lokasi pendakian dari Bascamp Cemoro Sewu. Tapi kami memilih ingin lewat Candi Cetho. Lumayan sekalian melepas rindu pada nenek, bude, pakde, mbak, mas, dan ponakan disana. Berhubung ayahku yang sudah merantau sejak beliau sekolah menengah ke Aceh dan resmi berpindah menjadi warga Aceh, jadilah aku lahir dan besar di Aceh. Kadang dilema,misalnya saat kuliah di Jogja perkenalan dengan teman-teman baru jika ditanya asal dan kujawab Aceh banyak yang tak percaya, katanya wajahku ini Jawa sekali. Maka kujelaskan memang keturunan Jawa dari Solo hehe Tapi ya belum njawani ya dan pas kuliah baru belajar menjadi orang Jawa sesungguhnya tanpa menghilangkan kesukuanku suku Gayo dan Aceh dari kampung halamanku di Takengon, Aceh Tengah. Eitttsss kembali lagi ke soal ndaki hehe

            Jumat malam kami habiskan untuk menikmati masakan bude yang selalu kurindukan dan beristirahat hehe dan ketika pagi membelai, suara ayam terdengar merdu, serta hawa dingin merasuki setiap inci tubuh, kami bergegas pergi ke pasar untuk belanja logistik. Sepulang dari pasar kami packing keperluan untuk mendaki dan pukul 08.00 WIB pagi menuju bascamp Candi cetho.

Bascamp Candi Cetho – Pos 1

            Tiba di bascamp sekitar pukul 09.00 WIB setelah melewati jalanan yang menurun bahkan juga menukik tajam apalagi kalau sudah dekat dengan lokasi Candi Cetho. Tapi alhamdulillah si pemandangan disepanjang jalannya indah sekali. Bergunung-gunung, berbukit-bukit tanaman sayuran ditanam dengan sepenuh hati oleh penduduk sekitar yang kebanyakan berprofesi petani.

            Sampai di Candi Cetho kami segera memarkir sepeda motor kemudian menuju jalan ke arah bascamp. Di Bascamp kami mendaftarkan pendakian sekaligus membayar. Pembayaran Rp15.000,- /orang dan dalam team salah satu harus meninggalkan tanda pengenal. Setelah semua beres kamis berkumpul untuk berdoa bersama agar pendakian kami lancar dan pulang lagi ke rumah masing-masing dengan selamat tanpa kurang suatu apapun. Kemudian cusss kami mulai mendaki dari bascamp menuju pos 1. Jalan menuju pos 1 tidak membingungkan karena ada rambu-rambu sebagai arahan yang jelas.

            Pertama jalanan masih landai, masih memberi bonus [jalan landai] di awal. Kemudian berganti paving saat tiba di Candi Ketek, setelah itu melewati sungai yang kering karena musim kemarau. Kemudian trek menanjak dan menurun. Cuaca cerah tapi berkabut jadi tidak terasa dingin saat mendaki. Agak lupa soal perkiraan jarak tempuh hingga kami tiba di pos 1. Tapi pastinya di pos 1 kami istirahat sejenak.

Pos 1 – Pos 2

            Setelah istirahat cukup, kami melanjutkan perjalanan menuju pos 2. Rasanya benar-benar semangat. Setiap langkah kaki menuju puncak selalu bersapa dengan pendaki lain baik yang juga naik atau pun turun. “mari Mas”,”mari Mbak”,”semangat Mas”,”semangat Mbak”,”semangat, bentar lagi sampai”,”tinggal didepan Mas Mbak” dll menjadi sapa hangat antar pendaki. Tenyata ucapan sederhana itu ngefek sekali dengan kondisi fisik dan pikiran, jadi lupa lelah dan semangat sampai puncak hehe Pokoknya kalau ndaki jangan berpikir lelah dan capek tapi harus terus semangat dan berpikir positif, karena sugesti itu berpengaruh juga ya kan.

            Ternyata vegetasi antar pos sudah berubah-ubah. Tapi maafkan kadang aku kurang peka dengan perubahan sekitar [sedih]. Oh ya, berhubung aku perempuan sendiri dalam team, kadang suka nanya terus sama adikku, “masih jauh enggak?” awalnya sih dijawab “udah deket”, lama-lama kayaknya dia kesel jadi dijawab “jangan tanya terus nanti juga sampai”. Skaaakkk maat yaaa hehe

            Berhubung pengalaman mendaki adikku juga lebih banyak dariku, kutanya soal trek mendaki Gunung Lawu. Katanya si ini termasuk medium treknya. Tapi iya juga, treknya itu meski bonusnya banyak, tapi nanjaknya juga lumayan, kadang juga harus ekstra banget buat lewatin treknya. Kami mendaki dengan santai, capek ya istirahat sebentar dan lanjut lagi begitu terus sampai akhirnya tiba di pos 2. Istirahat lagi deh hehe Oh ya ternyata sampai di pos 2 adzan dzuhur sudah berkumandang, kami sekalian masak untuk makan siang.

Pos 2 – Pos 3

            Lanjut lagi ke pos 3. Menuju pos 3 ketemu vegetasi apik. Bunga-bunga cantik gitu. Duh lupa namanya. Dan mendekati pos 3 ini treknya mulai nanjak meski cuaca cerah masih menemani sampai sini. Cuma karena mendaki di musim kemarau debu-debunya saat jalan lumayan bikin sesek ya. Jadi memang lebih aman pakai buff. Setelah jalan nanjak terus akhirnya sampai di pos 3.

            Pos 3 ada sumber pancuran mata air. Ramai pendaki disini berhenti untuk mengisi air minum, sholat dan rehat sejenak. Akhirnya kami juga berhenti untuk sholat dan mengisi air minum. Karena sudah masuk waktu ashar juga. Alhamdulillah segar rasanya saat wajah disapu air sejuk pegunungan. Terus tetiba ada yang lagi bikin Vlog [sepertinya]. “mbak Nisa Sabyan” katanya sambil ngarahin ke aku, kaget si kirain salah orang hehe tenyata sengaja hehe setelah rehat dirasa cukup kami lanjut lagi ke pos 3. Mengejar waktu agar saat gelap menyapa kami sudah tiba di pos 5.

Pos 3 – Pos 4 – Pos 5

            Perjalanan menuju pos 4 masih cerah. Banyak bonus keindahan juga disini karena ketinggian sudah di atas awan. Dan saat tiba di pos 4 kami rehat lagi. Sekedar untuk mengatur nafas lebih stabil dan menikmati matahari yang berada di atas awan. Harinya sudah semakin sore tapi cuaca masih cerah. Kemudian kami terus berjalan menuju pos 5 dan senja mulai menyapa. Langit cerah mulai berubah menjadi jingga, matahari mulai pulang kembali ke peraduannya. Indah, menikmati senja di atas awan dengan sejuknya suasana pegunungan.

            Saat adzan berkumandang kami memutuskan untuk terus berjalan karena camp area masih di pos 5. Hari semakin gelap, tapi kami belum tiba di pos 5. Berjalan terus hingga menemukan ramai para pendaki membangun tenda. Sebenarnya pos 5 tidak begitu jauh lagi tapi hari semakin gelap maka kami memutuskan membangun tenda, bergabung dengan pendaki lain yang sudah ramai mendirikan tenda terlebih dulu. Selesai membangun tenda isi 2 untukku dan adik dan tenda isi 4 untuk ke-4 team yang lain, segera kami membereskan diri, menunaikan kewajiban kemudian kami masak untuk makan malam serta membuat minuman hangat susu jahe. Tinggalah kami menikmati malam. Indah sekali jika berlangitkan malam. Udara dingin tapi tetap syahdu. Malam semakin larut kami putuskan untuk istirahat.

Pos 5 – Sabana

            Dini hari waktu subuh, terdengar ramai para pendaki sudah bangun. Mulai dari membangunkan untuk sahur [padahal bukan lagi ramadhan si hehe] juga membangunkan untuk mengajak summit. Berhubung team sepakat untuk tidak kejar summit maka kami hanya bangun menunaikan subuh kemudian lanjut masak untuk sarapan pagi-pagi. Ya, masak pagi-pagi di atas gunung ini adalah salah satu hal yang paling kusenangi saat mendaki gunung. Apalagi ditemani susu jahe anget yang terus di sruput sambil menikmati indahnya pagi di gunung. Ketenangan, kesejukan, kedamaian, keasrian, dan entah apalagi namanya. Menikmati sorot sinar matahari yang semakin berani menampakkan diri dan akhirnya sampai pukul 09.00 WIB pagi. Kami memutuskan untuk naik, barang-barang kami tinggal di tenda tersebut, kami naik hanya dengan membawa satu ransel kecil untuk membawa air dan alat elektronik semacam hp.

            Terus berjalan sambil menikmati tanaman mirip pohon jambu air. Pucuknya yang berwarna hijau kemerah-marunan bisa dimakan. Aku mencobanya dan rasanya enak, seperti daun jambu air. Disini sudah banyak bonus, hingga tiba di sabana yang membentang luas. Indah memang. Dan katanya ini memang salah satu bonus kalau mendaki Gunung Lawu via Candi Cetho, kita akan disuguhi indahnya sabana. Di sabana ini sebenarnya ada semacam danau tapi karena ini kemarau saat mendaki, danau itu tidak ada airnya. Kemudian terus berjalan hingga disambut hangat oleh Gupakan Menjangan. Disini ada tanah datar yang bisa dibuat untuk mendirikan tenda. Kemudian berjalan lagi menikmati hamparan sabana yang indah. Selekah sabana usai, jalan menanjak lagi. Vegetasi pepohonan pinus menemani sepanjang jalan ini. Beberapa pohon bekas terbakar karena memang sebelum kami akhirnya mendaki, Gunung Lawu di tutup karena kebakaran. Sedih melihatnya.

Sabana – Pasar Dieng

            Yeaayyy menanjak terus untuk segera sampai puncak. Kemudian tiba juga di Pasar Dieng. Dulu sih kebayangnya kenapa namanya pasar. Apa ada yang berjualan disana? Ternyata tidak. Di Pasar Dieng kita akan menemui batu-batu cantik bertebaran juga ada yang tersusun-susun. Memang sedikit gersang karena banyaknya bebatuan.

Pasar Dieng – Hargo Dalem – Warung Mbok Yem

            Berjalan menanjak kemudian harus melewati tangga yang jaraknya dekat tapi lumayan menanjak. Akhirnya tiba di Hargo Dalem. Ini semacam rumah-rumah dari seng. Awal melihat agak parno gitu, suasanannya mencekam tapi langsung lewat saja menuju warung Mbok Yem yang legendaris di kalangan para pendaki yang sudah ke Gunung Lawu. Akhirnya supaya tidak penasaran mampir lah ke warung Mbok Yem. Jajan-jajan disana.

Warung Mbok Yem – Puncak

            Rehat dirasa cukup kami melanjutkan perjalanan menuju puncak.  Berjalan terus menanjak. Hingga menemukan tangga yang cukup menukik meski jaraknya dekat. Setelah melewati tangga tampak puncak didepan mata. Naik sedikit lagi dan sampailah di puncak dengan dijumpainya tugu di puncak Lawu. Menikmati suasana di puncak hingga pukul 12.00 WIB kami memutuskan untuk turun. Turun sampai tenda, berkemas dan turun untuk pulang.

            Kami turun dengan jalan stabil [tidak lari-lari]. Saat turun jarang istirahat seperti saat naik. Sehingga rasanya lebih cepat bertemu pos-pos hingga akhirnya tiba di bascamp dengan selamat pada pukul 17.00 WIB. Kami istirahat dan menunaikan kewajiban di sekitar area parkir Candi Cetho kemudian pulang ke rumah nenek di Matesih. Bermalam disana dan esok paginya kembali ke Jogja.


“Tujuan mendaki adalah untuk pulang lagi sampai rumah dengan selamat tanpa kurang suatu apapun. Dan mendaki itu seperti candu, sekali mendaki maka akan ketagihan. Juga seperti rindu yang selalu ingin dituntaskan.”


Sampai bertemu di pendakian selanjutnya. Siapa tau kita bisa barengan hehe
Rindu menjemput Gunung Lawu akhirnya tertuntaskan


Jogja, 30 Januari 2019.
Di tulis saat rintik-rintik hujan menemani
Juga suara merdu musik instrumental mengalun indah
*Tulisan yang digarap saat senggang waktu kerja di kantor.


Yang terkenang-kenang :

Bersama adik lelaki [Kandung]

Mulai Mendaki

Mendaftar

nge-camp di dekat pos 5

Warung Mbok Yem

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu Lelaki Hebatku, Terimakasih untuk Semua Rasa Cemburu yang Kau Berikan.

Grojokan Sewu: Tawangmangu

Kembali ke Blitar; Aku Datang….