Jejak “Book For Mountain” di Kaki Gunung Bromo

Perlengkapan Follow Up


Book For Mountain (BFM) adalah organisasi yang fokus pada dunia pendidikan yang digerakkan oleh anak-anak muda dari berbagai kalangan, mulai dari kalangan mahasiswa dan lain sebagainya. Komunitas BFM ini memberikan kontribusi untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik dan menyalurkan buku untuk anak-anak Indonesia dengan harapan mereka bisa menjangkau ilmu lebih dekat dan menemukan semesta seluas-luasnya melalui buku.

Nah ceritanya, Agustus 2017 lalu saya bergabung dengan komunitas ini. Setelah melewati beberapa proses seleksi, akhirnya saya resmi gabung dengan komunitas ini. Saya merasakan atmosfir yang menyenangkan dalam komunitas ini. Kemudian juga berkenalan lebih dalam dengan para penggerak serta project-project yang menjadi agenda rutin.

Beberapa kegiatan sudah saya ikuti seperti sekolah berjalan dan terakhir Follow up Bromo. Follow Up Bromo ini semacam tindak lanjut karena dulu sudah mengadakan kegiatan disana. Kegiatannya tepat pada bulan November 2017 lalu, saya beserta rombongan diberangkatkan ke desa Ngadirejo, Sukapura, Probolinggo Jawa Timur. Perjalanan Jogja-Probolinggo kami tempuh dengan naik Bus. Tiba di Probolinggo saat dini hari, wajar jika  belum ada transportasi yang beroperasi jika kami ingin langsung ke desa Ngadirejo. Akhirnya kami putuskan untuk rehat dan sarapan sembari menunggu ada transportasi. Yeaaayyy, akhirnya ada angkot yang siap disewa untuk mengantar sampai desa Ngadirejo.

Perjalanan menuju desa Ngadirejo sangat menyenangkan. Banyak pemandangan yang menyejukkan mata, berbukit-bukit, bergunung-gunung, hawa sejuk sangat menenangkan. Setelah jalan menanjak kami tiba di desa Ngadirejo dan disambut hangat oleh warga desa termasuk bapak pengasuh kami disana. Dalam beberapa hari kami akan dikelompok-kelompokkan untuk tinggal bersama warga. Kebetulan tim saya ada 4 orang ciwi-ciwi yang akan tinggal dengan keluarga dek Bima. Sebuah keluarga dengan nenek, ayah, ibu, ika, dan bima.

Desa Ngadirejo adalah desa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan merupakan keturunan suku Tengger yang mendiami kawasan pegunungan Bromo dan Semeru di Jawa Timur.Dialek mereka jika berbiacara tidak seperti orang Madura atau Jawa yang mendiami probolinggo kota, tetapi lebih seperti orang Bali. Mendengar kisah dari salah satu warga, mereka merupakan keturunan Majapahit. Ketika Majapahit diserang, banyak masyarakat yang menyelamatkan diri ke Bali dan pegunungan Bromo dan Semeru ini.

Okeyyy, baru kali ini saya hidup dan tinggal satu rumah dengan sesama saudara yang memeluk agama Hindu. Rasanya gimana? Jujur menyenangkan. Sungguh. Rasa kekeluargaan dan menghargai antar sesama benar-benar sangat baik. Semua menjalankan ritual keagamaannya masing-masing. Mereka juga sangat ramah seperti keluarga. Pokoknya menyenangkan. Kalian harus mampir kesana, berkenalan dengan warga desa Ngadirejo yang ramah-ramah dan sangat baik sekali.

Pagi di Desa

            Mendengar nama ‘desa’ pasti yang terbayang adalah suasana asri yang menyejukkan. Yaupp tepat sekali seperti pagi di desa Ngadirejo. Dinginnya luar biasa, sampai bibir terasa kering [syukur sudah persiapan bawa pelembab bibir hehe]. Tapi justru suasana ini yang selalu dirindukan. Mengisolasi diri sejenak dari hiruk pikuk keramaian kota dan menikmati ketenangan di desa yang asri.

           Pagi hari saat kabut masih memeluk mesra desa, saya berjalan-jalan. Menikmati pemandangan ladang sayur-mayur yang subur di lahan yang berbukit-bukit. Hamparan luas sayur-mayur ini adalah hasil tanam dari warga desa Ngadirejo yang mayoritas berprofesi sebagai petani. Hawanya sejuk, udara masih terasa segar. Tak ada polusi udara yang sangat terlalu akibat sepeda motor [misalnya], karena kebanyakan warga lebih memilih menunggang kuda jika berpergian sekitar desa.

Sambel Khas Suku Tengger

            Pagi hari aroma masakan ibuk dimana kami tinggal sudah menggoda. Akhirnya segera lari ke dapur untuk bantu-bantu memasak sampai selesai. Sekaligus belajar masak dengan cara dan masakan khas suku Tengger hehe Setelah selesai masak sayur berlanjut untuk membuat sambal. Sambal khas suku Tengger yang tak boleh tertinggal saat makan. Cara membuatnya sederhana.
            Bahan :
·         Cabe udel (cabe terong) *cabe khas Tengger, bentuknya mirip terong.
·         Garam
·         Terasi
·         Gula
·         Daun bawang pre
Cara mengolah :
·         Cuci terlebih dahulu cabe dan daun bawang pre
·         Potong-potong / iris-iris cabe dan daun bawang pre
·         Campur semua bahan jadi satu kemudian dimasak seperti menumis
·         Sambal siap dihidangkan

Tampaknya sederhana tapi tak sesederhana rasanya. Sayang lupa mengabadikan foto sambalnya sebagai kenangan saat itu [sedih].

Follow Up

Pembelajaran mitigasi bencana gunung meletus
         
  Follow up bertempat di sekolah dasar desa Ngadirejo. Lokasinya tak jauh dari lokasi kami tinggal, jadi hanya perlu ditempuh dengan berjalan kaki. Seperti pagi kala itu, kami bersiap ke sekolah untuk menyapa adik-adik disana. Ketika tiba di sekolah, wah sudah ramai yang menanti kedatangan kami. Kami berkenalan dengan mereka, wajah-wajah polos kejujuran anak-anak seusia mereka.

Setelah berkenalan kami mengakrabkan diri dengan mereka dan diajak main voli. Ternyata hobi mereka bermain voli bahkan sering turut serta dalam lomba voli juga. Kami bermain bersama. Aturan mainnya, tim kakak-kakak [kami hehe] melawan tim adek-adek hehe bayangkan mereka itu main volinya jago sekali, kami kalah dironde pertama dan berlanjut sampai seterusnya hehe

Selain berkenalan sebenarnya kami juga sekaligus survey untuk kegiatan esok harinya. Kegiatan follow up dengan bermain dan belajar bersama adik-adik di sekolah dasar desa Ngadirejo. Sekaligus kami menambah koleksi perpustakaan yang beberapa waktu lalu sudah diadakan. Kami mengenalkan provinsi yang ada di Indonesia, cita-cita, lomba mewarnai dan lain sebagainya dengan bermain. Selain itu yang penting juga, kami berbagi informasi yang dikemas dalam bentuk game dan eksperimen soal mitigasi bencana gunung meletus. Hal ini penting, karena mereka dekat dengan gunung yang masih aktif.

Tulis Cita-citamu semoga kelak terwujud, Dik.


Puncak Gunung Kidul
   
  
Pasir Berbisik
          Semua kegiatan usai. Kegiatan bersama adik-adik sekolah dasar desa Ngadirejo. Alhamdulillah sangat mengesankan dan semoga bisa menjadi bagian indah kenangan saat kecil kalian bersama kami ya dek. Semoga suatu saat nanti kita berjumpa lagi dalam keindahan dan kesenangan yang lain. Terimakasih sudah menjadi guru kami.

            Selepas itu, rasanya sangat disayangkan jika kita tak menjelajah keindahan yang dimiliki desa Ngadirejo. Dekat sekali dengan Gunung Bromo yang menjadi ikon wisata disana. Berhubung waktu tak memungkinkan, kami memilih menjelajah sekitar desa saja. Sekitar desa Ngadirejo terdapat puncak Gunung Kidul [namanya]. Treknya seperti mendaki gunung [ya karena memang gunung hehe]. Pertama kita akan melewati desa Ngadirejo, kemudian melewati jalan setapak [seperti jalur dari puncak jiwa ke puncak andong saat mendaki Gunung Andong], samping kiri kanan jalan sudah jurang yang ditanami sayur-mayur oleh petani. Bayangkan, indah bukan pemandangannya.

            Perjalanan menuju puncak ditemani sejuknya kabut yang memeluk mesra tubuh kami. Juga merengkuh senja yang harusnya menemani kami di perjalanan sore kala itu. Tapi tak mengapa, semua tetap indah. Kami terus berjalan, sepanjang jalan sering bertegur sapa dengan wara yang baru turun dari kebunnya. Ada yang berjalan kaki, ada pula yang menunggang kuda. Ya, warga desa Ngadirejo sedikit banyak memiliki kuda untuk mengantarkan wisatawan yang hendak berwisata di Gunung Bromo.

            Kami terus menyusuri jalan. Vegetasi selalu berubah, dari yang awalnya tanaman sayur-mayur warga hingga berganti dengan pepohan cemara yang berselimut kabut. Kami melakukan perjalaan ini selepas waktu ashar, sehingga semakin mendekati puncak semakin menuju gelap saja. Akhirnya setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 2 jam kami sampai di puncak Gunung Kidul. Mashaallah cantiknya. Kabut memang masih memeluk mesra. Tapi kami diberi satu kali kesempatan untuk melihat indahnya Pasir Berbisik dan gagahnya Gunung Bromo. Sesuatu yang indah memnag butuh perjuangan dan kerelaan. Harus ikhlas dan menerima karena pasti ada rencana indah dari semua hal yang telah kita lalui.

            Usai menikmati indahnya Gunung Bromo dan Pasir Berbisik, kami memutuskan untuk turun pulag karena suasana semakin gelap dan semakin dingin pula. Tambah lagi, perjalanan turun kami ditemani hujan yang membasahi bumi [juga kami hehe]. Maka nikmat Tuhan mana lagi yang kita dusatakan?

“Menjelajahlah. Karena banyak surga dan guru yang tersembunyi di pelosok-pelosok desa sana. Temuilah. Bercengkeramalah. Kelak kau kan tahu arti hidup yang sesungguhnya.”-Rima Esni N-

Tulisan ini selesai ditulis di “Warung Kopi Ambarukmo”
Berteman dengan suara adzan dzuhur yang berkumandang
Dan segela jus alpukat berteman mendoan cocol sambal

Jogja, 3 Februari 2019
           
Album Kenangan :

Personil tidak lengkap

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu Lelaki Hebatku, Terimakasih untuk Semua Rasa Cemburu yang Kau Berikan.

Grojokan Sewu: Tawangmangu

Kembali ke Blitar; Aku Datang….